FORUM LINGKAR PENA MATARAM BERBAGI DALAM TULISAN

Jumat, 20 April 2012

“Terapi Malas Ala Bang Togar”

Oleh: Deki Zett
“Coba kau lihat. Berapa pun mereka berusaha keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Jadi kenapa malas! Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”

[Berikut adalah kata-kata bang Togar dalam Novel “Ranah 3 Warna” halaman. 162]

Bang Togar adalah ‘guru’ menulis Alif, tokoh utama dalam novel tersebut. Dalam penggalan cerita disana adalah waktu dimana Alif tiba-tiba buntu, malas, tak ada ide sama sekali untuk menulis. Lalu masalahnya ini ia sampaikan pada bang Togar, yang juga seniornya di organisasi jurnalistik yang ia ikuti di kampusnya. Oleh bang Togar Alif lantas di ajak ke suatu tempat, sebuah tempat disudut kota Bandung, yakni tempat kumuh, sarangnya para pemulung, kotor, bau, dan masa depan suram kita lihat di tempat tersebut.

Alif kaget dibawa ke tempat tersebut. Kenapa kesini? Sebenarnya apa maunya bang Togar? Pertanyaan muncul dibenak Alif. Bang Togar hanya menyuruhnya diam dan Alif disuruh memperhatikan kehidupan di tempat kumuh tersebut.
Disana Alif menyaksikan lakon kemiskinan sedang dimainkan. Kehidupan yang riil, nyata, bukan panggung sandiwara. Semua yang menyedihkan ada disana. Kelaparan, orang cacat, anak-anak yang tidak berpendidikan yang bisanya mengais sampah saja, rumah reot, kumal, semuanya alif lihat dan rasakan. Alif menyadari bagaimana hidupnya juga orang tak berpunya. Namun semiskin-miskinya orang kampong, masih bisa hidup layak daripada kemiskinan yang melanda orang-orang dikota katanya.

Alif tersentuh. Pada saat-saat inilah bang Togar berkata seperti apa yang kita baca diawal tulisan ini. Alif merasa malu, kini hatinya lebih banyak bersyukur. Kata bang Togar, ia tak boleh malas, jangan manja, jangan puas menulis lalu tembus media. Ia harus memanfaatkan kesempatan yang tuhan berikan padanya, masih bisa tidur di tempat yang layak, masih bisa kuliah, masih ada skill. Semua itu harus di syukuri dan di manfaatkan. Supaya tidak seperti orang-orang di tempat tersebut.

Tuan/puan, apa yang dialami Alif dalam cerita tersebut istilah dalam dunia sastra atau jurnalistik adalah writer’s block. Writer’s block adalah dimana pada saat-saat itu sang penulis sedikitpun tak kuasa untuk menulis, entah itu karena malas, ide yang tiba-tiba hilang, jemari berat memencet tut-tut pada keyboard, dan beberapa alasan yang seringkali penulis sendiri tidak tahu penyebabnya.

Namun, hebatnya hanya dengan merenungi, merasai, melihat kehidupan orang-orang melarat, semangat itu kembali muncul. Entahlah, kami tidak bisa mengkajinya secara ilmiah kenapa hanya dengan hal-hal demikian (mengharukan), rasa percaya diri, dan semangat kita kembali meletup.

Kondisi semacam itu (writer’s block), tidak hanya para penulis yang mengalaminya, kita pun sebagai manusia pada umumnya, entah itu profesi kita sebagai pedagang, petani, dokter, dan lainnya pernah mengalami “halangan” semacam itu. Apalah kita sebut, person’s block mungkin? Intinya MALAS! Iya malas.

Apa yang kami tangkap sebenarnya dari kejadian dalam cerita Alif dan bang Togar tersebut adalah rasa bersyukur. Sebenarnya, kita bukanlah orang yang paling sengsara didunia ini, merasa paling malang di dunia ini. Di luar sana masih banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak orang yang kekurangan. Dengan melihat keadaan orang-orang yang jauh lebih kurang beruntung dari kita, maka ini akan membuat hati kita merasa bersyukur dan merasa malu pada tuhan. Kita lebih beruntung, karena lebih banyak punya fasilitas daripada mereka. Karenanya, sombong sekali kalau kita tak bisa berkarya melebihi mereka.

Tuan/puan, mungkin dan saya yakin anda pernah pula merasai saat seperti itu. Kala melihat orang-orang disekitar kita sedang dalam kondisi susah, hati kita terenyuh nan iba, dan pada saat itu pula anda lamat-lamat mengucapkan rasa syukur karena di berikan kelebihan, tak seperti orang itu.

Kami pun begitu, terenyuh melihat orang-orang dengan keadaan semacam itu. Tulislah contoh misalnya dalam program “Jika Aku Menjadi” dan “Orang Pinggiran” di Trans corp. disana disajikan kisah-kisah kehidupan seseorang yang membuat hati kita terenyuh bahkan bisa menitikkan air mata. Lalu timbul niat untuk menolong. Lha, lalu kalau kita sendiri miskin atau dalam kondisi yang juga menyedihkan lalu bagaimana menolong orang lain? Itulah sebab kenapa bang Togar menyuruh Alif untuk berkarya, berkerja, dan bersyukur selagi masih dalam keadaan lebih baik. Selagi masih muda mas bro! kata anak-anak muda zaman bebek ini.

Jadi, bisa kita katakan. Melihat, merasai, dan merenungi orang-orang yang dalam keadaan melarat di sekitar kita adalah salah satu obat hati, pelembut hati. Sebab itulah kenapa bang Togar yang sudah lebih senior dari Alif, mengajak Alif ke tempat-tempat seperti itu. Supaya hatinya tidak manja dan puas lantaran gara-gara tulisan Alif baru tembus media. Baru sekali tembus media, ia sudah merasa puas dan “aman,” dan hal ini yang membuat orang malas rasa PUAS dan AMAN.

Mari kembali kita dengar lagi kata-kata bang Togar kepada Alif,

“Dulu waktu aku baru merantau ke Bandung, aku tidak punya apa-apa. Hanya modal nekat. Awalnya aku gampang mengasihini diriku sendiri, lalu malas-malasan dan menylahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini. Sampai di sini aku baru tahu bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak pantas aku bermalas-malasan.”
“Sepulang dari sini biasanya aku menulis dan menulis seperti kesetanan, sampai pagi. Seringkali sambil terisak mengingat susahnya mereka dan betapa beruntungnya aku.”

[kata bang Togar di halaman. 163]

Selamat terapi malas ala bang Togar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar